Kamis, 30 September 2021

HANYA KISAH KEHIDUPAN



Patah tumbuh hilang berganti. Generasi tua mulai menepi dan diganti dengan generasi muda yang darahnya masih segar. Idenya masih cemerlang dan geraknya masih lincah. Apa hendak dikata, manusia tidak bisa melawan usia. Di saat usia sudah masuk ke wilayah renta, semua tidak ada daya lagi. Tenaga yang dulu kuat berganti dengan fisik yang rapuh.

Begitulah rumus dunia. Semua berjalan dalam jalur dan kadar yang telah ditetapkan oleh Allah. Semakin yakin bahwa hidup ini harus dibiarkan terus berlalu. Karena memang tidak ada yang akan mampu menunda perjalanan waktu, apalagi menghentikannya.

Berbagai cerita menghias hidup kita. Sedih berganti bahagia, kemudian bahagia pergi berganti luka. Berbagai kesulitan pergi, kesulitan lainnya tiba. Tertawa bahagia berhenti, tertawa bahagia lain menanti. Karena itu tak pantas bahagia yang berlebihan, dan tak perlu pula bersedih yang mendalam.

Cerita luka dan pedihnya hidup itu milik semua orang. Tak akan ada yang hatinya tidak pernah tertoreh luka dalam kehidupan ini. Sebagaimana cerita bahagia dan keceriaan juga akan dikecap oleh siapa pun.

Tak perlu rasa cemburu itu. Jangan merasa diri paling menderita dan merasa orang lain lebih beruntung. Karena pada hakikatnya semua sama, hanya sekadar kisah kehidupan yang mesti dijalani….

 

Rabu, 29 September 2021

“Srempengan” Menyunting Naskah



“Srempengan”, begitu istilahnya. Pekerjaan yang banyak yang harus diselesaikan dengan segera membutuhkan kerja yang lebih. Lebih fokus dan harus dilakukan sedikit “Ngoyo”. Tentu saja model bekerja seperti membutuhkan konsentrasi dan tenaga yang besar.

Pada awalnya saya hanya ingin menyelesaikan satu naskah buku. Buku ketiga, “Jejak Pena Penulis Pemula”. Namun ternyata rencana harus direvisi karena tetiba muncul keinginan sekalian menyelesaikan naskah buku ke-empat. Memang konsep untuk buku ketiga dan keempat sudah lama saya siapkan. Hanya karena masih menunggu waktu yang tepat, kedua konsep buku tersebut belum tersentuh alias mangkrak.

Naskah buku keempat, “Narasi Panjang Seorang Guru” akhirnya selesai bersamaan dengan buku ketiga. Meskipun untuk itu saya harus srempengan pagi, siang hingga malam hari. Tapi semua tetap bisa dijalani dengan riang.

Setiap karya yang terbit sudah pasti memerlukan pengorbanan. Setidaknya waktu dan tenaga. Bila usaha yang kita lakukan hanya standar saja, kita tak akan puas dengan hasil yang kita capai. Hasil yang maksimal pasti buah dari usaha yang optimal.

Ibaratnya saya hanya menanam pohon. Apakah kelak pohon yang saya tanam akan berbuah lezat. Waktu yang akan membuktikannya. Buku-buku yang telah saya tulis pun demikian. Apakah akan membawa manfaat bagi pembaca, saya pun tak tahu. Tapi yang pasti semua proses yang telah saya jalani semua memberi sinar terang dalam hati, kebahagiaan hati.

 

Selasa, 28 September 2021

PENGEMIS ILMU



Kita tahu bahwa mencari ilmu itu tidak ada batas usianya. Dari saat masih dalam gendongan ibu tercinta hingga tiba ajal menjemput. Tapi lazimnya tradisi dalam masyarakat kita, praktiknya tidak demikian. Mencari ilmu biasanya akan mencapai titik kulminasi bila sudah menikah. Katanya "Tholabul ilmi minal mahdi ila rabi".

Disaat seseorang telah memulai kehidupan rumah tangga dia akan disibukkan dengan berbagai urusan seputar keluarga. Sehingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk melanjutkan mencari ilmu. Di sisi lain semangat tidak lagi sama ketika dulu belum berkeluarga.

Yang terjadi adalah stagnan di bidang ilmu pengetahuan karena tidak ada lagi aktivitas yang menunjang berkembangnya ilmu. Itu sama halnya dengan meruntuhkan sendiri kontruksi ilmu yang telah ia bangun bertahun-tahun. Seharusnya selalu ada porsi waktu untuk mencari ilmu meski sudah menikah. Setidaknya untuk tetap menjaga tradisi belajar.

Begitu seriusnya kita memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga kebutuhan ruhani lupa kita pikirkan. Padahal keduanya harus dicukupi dengan seimbang. Ketika kekurangan uang kita sering cemas, namun bila kekurangan ilmu kita tenang-tenang saja.

Mencari ilmu semestinya tidak menunggu kita memiliki waktu longgar. Karena itu tanda kita tidak bersungguh-sungguh mencintai ilmu. Mencari ilmu seharusnya seperti seorang pengemis yang berjalan dari satu pintu ke pintu lain. Dia tidak menunggu ada orang yang datang memberinya sedekah, tapi terus berjalan dan selalu mencari.

 

 

Senin, 27 September 2021

MEMBELI KASIH SAYANG



Dengan kerja keras, akhirnya seorang Ibu berhasil menyekolahkan anak semata wayangnya sampai ke luar negeri. Dan itu bukan hal yang mudah bagi seorang janda. Setelah tamat kuliah, anaknya bekerja di luar negeri, beli rumah, dan menikah, serta telah dikaruniai seorang anak. Ia telah memperoleh kemapanan hidup selayaknya orang-orang yang dikatakan berhasil.

Ibunya masih tetap tinggal di kampung meneruskan pekerjaannya, seorang diri. Namun dia berencana kelak, ia ingin pindah menyusul dan tinggal dengan anak dan menantunya, untuk menghabiskan masa tuanya.

Singkat cerita ternyata anaknya menolak menampung dan membiayai hidup masa tua ibunya. Namun ia mengirimkan selembar cek 30 ribu USD sebagai tebusan biaya mengasuhnya hingga bisa sukses seperti sekarang. Hancurlah harapan ibu tadi. Rupanya anaknya tidak tumbuh sebagai anak yang bisa diharapkan.

Apakah kasih sayang ibu bisa dinilai dengan Rupiah atau Dolar. Mampukah seorang anak membayar pengorbanan ibunya. Pasti tak akan pernah mampu. Kasih sayang seorang ibu tidak akan bisa dihitung dengan materi sebanyak apapun.

Yang terpikirkan oleh anaknya hanya sebatas materi semata. Dia mungkin sudah teliti menghitung apa yang telah dibelanjakan ibunya selama ini. Semuanya mungkin sudah dikalkulasi dengan benar. Tapi bagaimana dengan cinta dan kasih sayang ibunya, doa-doa dan harapan yang dimunajatkan ibunya serta pendidikan ibu yang telah mengantarnya bisa berhasil. Apakah semua itu bisa dinilai?

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...