Sabtu, 13 Februari 2021

“EMPAN PAPAN”



Kata peribahasa, “Mulutmu harimaumu”. Kurang lebih maksud ringkasnya, kita harus menjaga perkataan. Karena banyak orang celaka karena urusan perkataan yang salah.  Peribahasa ini juga punya makna bahwa setiap perkataan memiliki kekuatan yang sangat besar efeknya bagi diri sendiri maupun orang lain. Bisa jadi akibat baik atau sebaliknya. Akibat kaki yang terpeleset mungkin akan menyebabkan luka fisik yang tidak seberapa. Tapi bila lidah yang “terpeleset” akibatnya bisa sangat fatal.

Kita seharusnya prihatin dengan keadaan hari ini. Orang dengan mudahnya berkata kasar, menghina, membully maupun memfitnah. Gambaran semua itu dapat kita lihat dengan sangat jelas, nyata dan semakin menjadi “budaya” baru di media sosial. Dengan alasan kebebasan berpendapat orang bisa berbicara semaunya. Tidak lagi menimbang rasa lawan bicaranya. Katanya kritik tapi bahasanya seperti menghujat dan merendahkan. Bukankah kita bisa memilih bahasa yang layak dan elegan dalam berkomunikasi.

Ketika Allah mengutus Nabi Musa Alaihissalam menemui Fir’aun Allah berfirman: "Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Q. S. Thoha Ayat 43-44). Bahkan kepada Fir’aun yang begitu bengis dan kejam Nabi Musa masih harus berkata lemah-lembut. Allah mengajarkan kepada Nabi Musa untuk tetap menggunakan bahasa dakwah yang humanis. Inilah pentingnya adab.

Dalam pandangan budaya Jawa, orang sekarang sudah tidak mengenal “Empan Papan”. Empan papan adalah istilah dalam bahasa dan budaya orang Jawa, yang memiliki makna menempatkan diri sesuai dengan tempat atau situasi (kondisi yang tepat). Istilah lain dari empan papan ini dalam Bahasa Jawa adalah: “ngerti kahanan”, artinya mengetahui situasi yang terjadi dan bereaksi tepat.

Semua memiliki tempatnya. Seorang pimpinan kantor tentu memiliki cara berkomunikasi yang berbeda antara bawahannya dengan istrinya di rumah. Seorang anak harus memilih bahasa yang bagus ketika berbicara dengan orang tuanya, di waktu yang lain lebih lepas ketika berbincang dengan saudara-saudaranya. Atau, sebagian masyarakat kita (Surabaya) karena senangnya bertemu dengan teman lamanya justru “misuh-misuh”, tentu ini bahasa budaya dan keakraban, bukan perkataan kotor untuk memaki.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...