Minggu, 23 Agustus 2020

BUDAYA LISAN DAN TULISAN

 

“Titip uang bisa berkurang, titip omongan (pesan) menjadi bertambah”. Sebuah ungkapan yang menjadi realitas di masyarakat. Kebanyakan orang cenderung melebihkan informasi yang dia terima. Sebuah peristiwa biasa menjadi berita yang besar ketika sudah disebar secara berantai dari mulut ke mulut. Itulah salah satu sisi kelemahan budaya pesan lewat lisan. Kevalidan sebuah informasi sering tereduksi oleh orang yang menyampaikannya. Hal ini bisa terjadi karena cara dalam menyampaikan sebuah berita, seseorang akan menyusun dengan bahasanya sendiri. Berbeda dengan bahasa lisan, bahasa tulisan akan lebih terjaga. Tulisan akan menjadi sumber informasi yang murni dari perubahan.

Menulis sebenarnya sudah sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari kita saat ini. Membuat status di Facebook, menjawab pesan di WhatsApp, mengomentari sebuah postingan di media sosial dan yang serupa itu. Namun menulis dalam arti menuangkan ide atau gagasan, membuat puisi atau syair, membuat artikel dan karya tulis lain itu memang masih belum banyak yang melakukannya. Padahal sebenarnya ada kesamaan, keduanya adalah melakukan aktivitas menulis. Itulah bukti, menulis yang sistematis yang merupakan manifestasi berpikir belum menjadi sebuah budaya

Apa yang kita ucapkan dengan lisan akan hilang. Apa yang kita katakan hanya akan didengar oleh sedikit orang. Namun apa yang kita tuangkan dalam tulisan akan tetap ada (awet) dan akan banyak orang yang mengetahui. Sepandai dan sehebat apapun orang, dia akan hilang dari sejarah ketika tidak menulis gagasannya dalam sebuah karya. Bukti dari hal ini dapat kita lihat melalui buku-buku karya para penulis zaman dulu yang tetap dipakai dan selalu dibaca sebagai bahan referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Suatu hari saya didatangi teman yang sudah lama tidak bertemu. Dia menceritakan sedang menghadapi sebuah masalah. Kemudian dia minta izin untuk menggunakan komputer di rumah untuk mengetik sesuatu. Setelah hampir satu jam teman saya menyelesaikan kegiatannya, dan membawa beberapa lembar kertas hasil print-out. Sebelum saya bertanya dia sudah menjelaskan terlebih dahulu apa isi kertas yang dia pegang. Kertas tersebut adalah kronologi peristiwa yang dia susun untuk disampaikan dalam sebuah forum klarifikasi. Dia hendak menjelaskan dengan sistematis dan runtut posisi dia dalam pusaran masalah yang sedang dia hadapi. Sebuah cara yang cerdas. Bahasa lisan kadang terpengaruh dengan perasaan, emosi maupun situasi yang dihadapi. Namun ketika sudah menjadi bahasa tulisan semua pesan akan sampai dengan efektif.

Apa yang dilakukan teman saya dalam cerita di atas adalah bentuk nyata membudayakan menulis. Karena sekali lagi, budaya menulis dalam banyak hal memiliki keuntungan dibanding dengan budaya bertutur lisan. Peristiwa yang dialami seseorang yang tertuang dalam tulisan akan menjadi sejarah yang akan dikisahkan dengan benar. Sebaliknya peristiwa yang diceritakan dengan budaya bertutur lisan cenderung akan menyimpang dari kebenaran.

         

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...