Di saat kelangkaan minyak goreng di masyarakat belum teratasi, kini disusul dengan harga kedelai yang naik drastis. Apa lagi setelah ini. Negeri yang katanya “Loh Jinawi” Subur makmur berlimpah-limpah, kini rakyatnya repot untuk mendapatkan minyak goreng dan kedelai.
Kata orang negeri kita tanahnya subur, apapun bisa ditanam. Dari sayur mayur higga bermacam buah-buahan semua bisa tumbuh. Tapi mengapa saat untuk mencukupi kebutuhan sendiri kita sering kewalahan. Ya, bagai peribahasa ayam mati di lumbung padi. Kita kesulitan memenuhi kebutuhan padahal kita hidup di tengah alam yang kaya.
Jika krisis minyak, kedelai atau bahan makan lainnya terjadi di salah satu negeri Afrika yang tandus, kita tidak heran. Air yang sulit dan tanah yang kurang subur menjadikan beberapa negara Afrika sering kekurangan pangan. Tapi bila krisis pangan terjadi di negeri kita, itu menjadi cerita yang ironi.
Kurang apa Tuhan menciptakan tanah air kita. Buminya hijau lautnya penuh kekayaan. Lalu mengapa bisa terjadi kita kekurangan minyak goreng dan kedelai. Jawabannya memang tidak sederhana. Selama ini kita bergantung dari impor. Mungkin kita menjadi bangsa yang “malas” mengolah tanah sendiri. Apa-apa serba produk luar negeri. Atau karena “sistem” yang membuat kita tidak bisa mandiri memenuhi kebutuhan sendiri.
Dulu katanya kita bangsa agraris. Sebutan untuk negara yang memiliki mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, atau bekerja di sektor pertanian. Tapi apakah saat ini masih relevan sebutan itu. Di saat bangsa lain yang tidak memiliki lahan pertanian yang luas bisa ekspor produk pangan, justru kita kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan warga sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar