Tragedi di stadion Kanjuruhan menjadi tragedi
terbesar kedua dalam dunia sepak bola. Tragedi sepak bola yang memakan korban
jiwa terbesar dalam sejarah terjadi pada tahun 1964, di kota Lima Peru, yang
menewaskan 328.
Penyesalan tidak cukup untuk semua yang telah
terjadi. Tapi yang paling penting ini harus menjadi titik awal perubahan sepak
bola di negeri kita. Manajemen klub harus lebih profesional, sarana harus berstandar
FIFA dan yang tidak kalah penting, suporter kita harus lebih dewasa.
Cinta dengan klub pujaan itu wajar. Tapi cinta
yang membabi-buta itu bisa membahayakan. Ketika tim kesayangannya kalah, mereka
bisa berbuat anarkis. Ini tentu menjadi sesuatu yang aneh, karena tindakan
anarkis hanya akan merugikan diri sendiri.
Lihatlah suporter klub sepak bola di eropa
yang sudah dewasa. Mereka totalitas dalam mendukung klub ketika bermain. Tapi
ketika pertandingan telah berakhir, mereka sportif meski tim yang didukung
menderita kekalahan.
Sepak bola bukan segalanya, kehidupan ini jauh
lebih berharga. Tak sebanding apabila nyawa ditukar dengan fanatisme dan
kecintaan yang berlebih terhadap klub kesayangan. Jangan sia-siakan korban yang
telah berjatuhan. Rubah wajah sepak bola kita menjadi olah raga berprestasi
yang menyenangkan dan jauh dari tindak anarkis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar