Masyarakat
kita sebenarnya mudah lupa. Apa yang hari ini terjadi, sebulan dua bulan atau
satu tahun pasti sudah lupa. Lupa yang saya maksudkan buka lupa dengan peristiwa
yang terjadi, tapi sudah tidak peduli lagi. Hari viral, tunggu saja tidak
sampai tiga bulan orang sudah melupakannya.
Dulu
ada sosok yang terkenal yang kesandung video asusila. Semua orang menghujat dan
mencaci-maki. Tak ada satu stasiun televisi pun yang mau menampilkan wajahnya
lagi. Seakan-akan dia sudah habis. Apa yang terjadi kemudian, dia kembali
menjadi idola masyarakat lagi. Ternyata hanya butuh setahun atau dua tahun
untuk bisa lahir kembali dan diterima masyarakat. Aneh memang.
Begitu
juga kasus koruptor yang ditangkap dan diadili. Pada awalnya semua orang akan
membenci, memaki-maki, menghujat dan menghina. Tapi setelah sang koruptor
keluar dari penjara, seakan orang sudah lupa dengan apa yang dilakukan dulu.
Seolah-olah tindak korupsinya sudah tertebus dengan penjara yang banyak
potongannya. Dia akan kembali menjadi sosok yang bersih yang siap kembali
menjadi pejabat publik.
Memang
baik memaafkan orang yang bersalah. Tapi tidak berarti kita memberi kesempatan
mereka kembali untuk berbuat yang serupa. Memulihkan kepercayaan kepada
orang-orang yang telah berbuat kesalahan fatal sebenarnya banyak risikonya.
Orang akan menilai bila berbuat kesalahan besar itu tidak masalah. Toh, pasti
masyarakat akan bisa menerima kembali nanti.
Di
negara-negara yang menjunjung moralitas tinggi tidak mengenal budaya lupa
seperti masyarakat kita. Sebut saja Jepang. Di sana orang akan rela mengundurkan
diri bila merasa berbuat kesalahan yang merugikan publik. Dan mereka selamanya
tak akan pernah kembali menjadi pejabat. Karena masyarakat mereka menunjung
tinggi moralitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar