Sabtu, 29 Maret 2025

Lebaran: Momentum Kebersamaan Keluarga dan Tradisi Sosial yang Harmoni

 



 

Hari raya Idulfitri tahun 1446 Hijriyah tinggal beberapa hari lagi. Momen Idulfitri selalu mengingatkan memori puluhan tahun silam. Ya, ketika kami masih anak-anak kecil yang polos. Dalam setahun sekali, momen Idulfitri atau lebaran selalu kami nantikan. Banyak hal istimewa yang hanya ada pada saat perayaan lebaran. Lebaran banyak kue yang enak, baju kami baru semua, dan yang paling menyenangkan kami banyak mendapat uang sangu.

Memang hanya sebatas itu kami memaknai datangnya hari raya Idulfitri. Semua serba yang menyenangkan. Dan kini, semua kenangan indah tempo kecil dahulu tidak pernah saya rasakan lagi. Apa yang kami rasakan ketika masih anak kecil memang sudah berbeda dengan saat ini. Masa kecil adalah dunia bermain, jadi semua yang dialaminya hanya tentang kegembiraan dan permainan semata.

Ada yang tidak pernah berubah ketika Idulfitri tiba. Dari dulu perayaan lebaran selalu menjadi momentum keluarga untuk berkumpul. Sanak famili yang merantau jauh dari kampung halaman sering menunggu Idulfitri tiba untuk berkunjung melepas kerinduan. Ini yang menjadikan mudik saat lebaran menjadi agenda nasional yang meriah.

Rasanya ada yang kurang lengkap saat merayakan lebaran ada anggota keluarga yang tidak bisa kumpul di rumah. Lebaran menjadi momentum berkumpul dengan keluarga. Ada suasana keharuan, keakraban dan kenyamanan bisa shalat Idulfitri beserta seluruh keluarga, makan bersama-sama kemudian saling bersilaturrahim.

Idulfitri memang memang menjadi hari besar umat Islam seluruhnya, namun perayaan lebaran memang hanya ada di negeri kita tercinta. Ini adalah berkah. Sebuah tradisi keagamaan dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun sebagai ciri khas masyarakat nusantara. Seperti yang kita ketahui, berbagai tradisi unik dan sarat makna muncul untuk menandai dan menambah meriahnya lebaran di berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Gaung lebaran juga begitu semarak di dunia maya. Berbagai platform media sosial menjadi sarana menautkan hati dan menyambung tali persaudaraan. Bahkan, lebaran kini tidak hanya dirayakan kaum muslimin saja. Tidak sedikit umat beragama lain ikut serta merayakan. Ungkapan “Mohon maaf lahir dan batin” seolah menjadi kata kunci pada waktu bersua dengan saudara, teman, kenalan dan tetangga jauh maupun yang dekat.

Meski perayaan lebaran tiap-tiap daerah berbeda namun sebenarnya ada kesamaan yang mendasar. Lebaran pada intinya menjadi ajang silaturrahmi dan menjalin ukhuwah sesama kaum muslimin. Budaya saling meminta maaf juga sudah menjadi kelaziman setiap kali umat Islam Indonesia merayakan Idulfitri. Ada tradisi yang sudah sangat familiar di masyarakat kita ketika lebaran yaitu; halal bihalal, hari raya ketupat dan mudik.

Halal bihalal. Kemeriahan Idulfitri di negeri kita sudah menjadi budaya. Halal bihalal yang sebenarnya secara etimologi berasal dari Bahasa Arab namun tidak dikenal dalam ‘mufrodat’ dan tidak dipakai dalam struktur bahasa baku orang Arab. Dalam istilah yang sederhana mungkin bisa dikatakan halal bihalal adalah bahasa Arab yang hanya dipakai di Indonesia.

Menurut sebuah literatur asal mula halal bihalal ada sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. Bung Karno menghendaki adanya sillaturahim yang melibatkan banyak orang (massal). Setelah berdiskusi dengan KH.Wahab Hasbullah akhirnya disepakati konsep halal bihalal yang pada awalnya hanya dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengundang tokoh-tokoh elit politik dengan tujuan menyatukan bangsa. Hal ini yang kemudian ditiru dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Ketupat. Idulfitri juga identik dengan hari raya ketupat. Ketupat menurut sebagian sumber sudah ada sejak sebelum Islam masuk ke Indonesia. Menurut sebagian catatan sejarah ketupat dijadikan sebagai bagian perayaan Idulfitri dimulai sejak pemerintahan kerajaan Islam di Demak. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari janur dan diisi dengan beras memiliki makna filosofis.

Konon, kata ketupat yang dalam Bahasa Jawa disebut Kupat berasal dari kata aku lepat (saya salah), artinya ketupat sebagai simbol saling memaafkan anatara saudara dengan saudara yang lain, orang tua ke anak-anaknya, guru ke murid-muridnya.

Sebagian ada yang mengatakan ‘Kupat’ berasal dari Bahasa Arab kaffatan yang artinya sempurna. Setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa kita disunahkan puasa pada hari kedua bulan Syawal sampai hari ke-tujuh (selama enam hari), setelah itu pada hari ke-tujuh malam kedelapan Syawal membuat selamatan kecil dengan membuat ketupat (bodo kupat), ini mungkin yang dimaksud sempurna dalam ibadah puasa. Sebagaimana dalam hadits disebutkan “Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian ia ikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, ia akan mendapat pahala seperti puasa setahun penuh”.

Hari Raya ketupat hanya ada di negeri kita dan sebagian negeri rumpun Melayu. Ini semakin memperkaya budaya bangsa kita dan menjadikan perayaan lebaran semakin semarak. Secara syariat, kupatan juga selaras dengan ajaran agama Islam, yaitu sedekah. Untuk itu, sangat penting menjaga tradisi mulia peninggalan leluhur kita ini.

Mudik. Hari raya sudah pasti akan menjadi hari spesial bagi umat Islam khususnya di Indonesia. Akan kurang sempurna bila tidak dirayakan dengan keluarga. Ini yang menjadi alasan mengapa harus mudik ke tanah kelahiran. Dalam makna lain mudik adalah bentuk kecintaan anak ke orang tua dan saudaranya yang masih tinggal di kampung halaman. Hakikat mudik adalah menyambung tali silaturrahim.

Puasa merupakan bentuk ibadah vertikal (hablum minallah) sedangkan mudik adalah bentuk hubungan sesama manusia (hablum minannas), tentu tidak akan sempurna ibadah puasa kita bila hubungan kita dengan keluarga tidak dijalin dengan baik. Puasa yang dilakukan dengan landasan iman dan semata karena Allah dijanjikan mendapatkan ampunan dari Allah sehingga bersih semua dosa-dosanya laksana bayi yang baru lahir.

Tinggal dosa kepada sesama manusia yang harus kita bersihkan dengan permohonan maaf, dan mudik merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat kita yang bertujuan merayakan Idulfitri dan sarana permohonan maaf sungkem ke orang tua dan seluruh kerabat.

Inilah sebagian tradisi sosial masyarakat ketika merayakan lebaran yang sudah menjadi ciri khas masyarakat kita. Akan menjadi suatu yang tidak lazim apabila merayakan Idulfitri tidak melaksanakan tradisi yang sudah turun menurun ini. Tidak ada yang salah dengan tradisi sosial kita bila ditinjau dari syariah. Justru semua tradisi tersebut menjadikan perayaan Idulfitri lebih bermakna dan nampak harmoni.

 

Tentang Penulis

Penulis adalah Kepala Madrasah Ibtida’iyah Miftahul Huda Pakisaji Kecamatan Kalidawir Tulungagung. Aktivis masjid, pemerhati pendidikan, dan peminat dunia literasi yang aktif menulis di Blog: https://penulisspemulaa.blogspot.com

 

 

Jumat Kedua di Bulan Syawal

  Saat ini kita tengah berada di Jumat kedua bulan Syawal tahun 1446 Hijriyah. Terasa belum lama Ramadan meninggalkan kita tanpa adanya ke...