Sepeda
bagi saya pribadi adalah sarana transportasi yang sudah akrab sejak zaman
dahulu. Bersepeda adalah “Romantisme“ masa lalu. Sejak kecil waktu sekolah MtsN
sampai Madrasah Aliyah setiap hari menggunakan sepeda. Bahkan Ketika
teman-teman dulu sudah mulai banyak yang menggunakan sepeda motor, saya masih
selalu bersepeda. Bukan karena cinta dan setia dengan sepeda namun memang belum
punya motor. (he..he)
Bersepeda akhir-akhir
ini menjadi booming di mana-mana, bukan hanya di Indonesia. Menurut berita di
sebuah media portal online hampir seluruh penjuru dunia memiliki trend
bersepeda. Sebagian menganalisa ini akibat dampak pandemi Covid-19. Sepeda
dilirik banyak orang yang ingin tetap berolahraga di masa pandemi. Mudah karena
bisa dilakukan sendiri, tidak harus kontak dengan orang lain dan satu alasan
banyak memilih sepeda karena unsur rekreasi. Dengan bersepeda kita bisa
menyusuri jalan-jalan di kota, desa, perbukitan, tepi sungai atau pinggir sawah. Hampir
tidak ada hambatan apapun, bebas macet.
Fenomena yang
menggembirakan bila sepeda menjadi gaya hidup masyarakat umum. Bersepeda menjadi
alternatif jenis olahraga yang digemari. Faktanya, di negara-negara maju sepeda
masih menjadi alat transportasi di kota. Seorang direktur tidak segan ke kantor
menggunakan sepeda. Karena praktis, hemat biaya dan yang pasti ramah
lingkungan. Tentu ini akan sedikit mengurangi pencemaran alam yang sudah
sedemikian rupa. Tidak heran ketika naik kereta api banyak menjumpai penumpang
yang membawa sepeda lipat mereka.
Olahraga
bersepeda sebenarnya bukan hal yang baru, banyaknya orang yang bersepeda hari
ini adalah sekedar “latah” mengikuti trend yang sedang terjadi. Bahkan sebagian
kalangan masyarakat elit bersepeda sekadar menunjukkan hobi yang mahal. Jangan heran
banyak pabrikan sepeda merilis produknya dengan harga yang mencengangkan. Mulai
dari puluhan juta sampai ratusan juta. Bahkan “TREK” mengenalkan produk barunya
di pasaran “Trek Butterfly Madone” dengan harga
US$ 500 ribu atau Rp 6,67 miliar. Sebuah pertanyaan yang umum bagi ‘wong ndeso’
seperti saya, “Bahan untuk membuat sepedanya dari apa ya???”
Sisi
mahalnya harga sepeda yang bisa mencapai milyaran rupiah tentu sebenarnya tidak
terkait dengan sisi manfaatnya. Bersepeda dengan harga ratusan ribu juga
memiliki manfaat yang sama dengan menggunakan sepeda yang mahal. Harga mahal
hanyalah sebuah kebanggaan, gaya hidup dan menunjukkan kelas sosial pemiliknya.
Dan itu sah-sah saja selama masih punya kepedulian terhadap orang-orang sekitar
yang membutuhkan uluran tangannya. Tentu tidak elok untuk hobi bersepeda bisa
menghabiskan dana yang sangat besar sementara di saat yang sama banyak orang hidup
dalam kesusahan.
Nggo gowes pak... Hehehe
BalasHapusSudah biasa mas fahmi....
HapusAyukkk sepedaan pak.. club literasi Ma'arif
BalasHapusKeren bund...ide yang bagus
HapusMantap ikih.... Cuma kadang mulia dan indahnya goes, oleh sebagian oknum goeser dikotori dengan bergoes jejer2 dijalan padat dan sempit.. yang demikian tentunya bisa membahayakan pengguna jalan lainnya....
BalasHapusSecara prinsip, saya sangat setuju dibudayakan...
Leress kang...setuju
BalasHapus