Rabu, 30 April 2025

Menenun Kata, Menggubah Cerita

 



Menurut JK Rowling, cara menjadi penulis itu sederhana; "Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri",. Sederhana dan mudah sepertinya, tetapi ternyata kenyataan tidak segampang yang dikatakan itu. Setidaknya itu pengalaman saya praktik menulis selama ini.

Menulis pengalaman sendiri seharusnya memang mudah, karena kita tinggal bercerita sesuatu yang nyata dan dialami sendiri. Menggambarkan peristiwa dengan kata-kata dan menjelaskan sebuah pengalaman. Tapi, lagi-lagi harus kita akui semua itu tetaplah bukan pekerjaan yang mudah.

Orang akan lebih mudah bercerita daripada menulis. Ketika bercerita, seolah bahan mendongeng yang disampaikan tidak pernah ada habisnya. Coba, andai saja kebiasaan kita bercerita bila ditulis akan menjadi buku yang berjilid-jilid.

Alasan yang mungkin mendasari mengapa tidak mudah menulis pengalaman adalah kurang percaya diri. Sering kita malu dengan apa yang kita tulis sendiri. Malu setelah membabacanya, mungkin dirasa bahasanya tidak bagus. Malu, ternyata pengalaman yang diceritakan ternyata bukan pengalaman yang luar biasa, hanya hal-hal sepele yang mungkin tidak penting sama sekali diketahui oleh pembaca.

Sudahlah, tak perlu malu lagi. Seharusnya rasa malu untuk memulai menulis dibuang jauh-jauh. Memiliki rasa malu itu bagus tapi harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. Menulis saja meski kita menganggap tulisan kita biasa saja, belum bagus.

Kita mulai dengan menulis apa saja. Menenun kata demi kata sehingga menjadi gubahan cerita. Biarlah proses panjang yang menjawab nanti, apakah manfaat dari semua goresan pena kita. Tapi saya yakin, semua karya kita berguna pada waktunya.

Jumat, 25 April 2025

Amal yang Dicintai

 



Kini kita tengah berada di Jum’at terakhir bulan Syawal tahun 1446 Hijriyah. Ramadan telah berlalu meninggalkan kita, tanpa adanya kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa lagi, menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya.

Hanya sebuah doa dan harapan yang selalu kita sampaikan kepada Allah, semoga amal ibadah kita diterima di sisi-Nya dan kita masih diberi kesempatan untuk berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun mendatang.

Bulan Syawal seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk meningkatkan amal ibadah kita, atau setidaknya mempertahankan ibadah di Bulan suci Ramadan kemarin. Walau dalam kenyataannya Syawal lebih sering menjadi bulan penurunan ibadah kita, juga penurunan kualitas diri. Di antara tandanya yang sangat jelas adalah perayaan idulfitri seakan-akan menjadi suasana kebebasan setelah selama sebulan penuh dikekang dan harus menahan diri.

Syawal adalah ujian istiqomah kita. Istiqomah maknanya adalah sikap teguh dan terus-menerus dalam melakukan kebaikan, menjalankan perintah Allah SWT, dan menjauhi larangan-Nya. Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda;

“Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menjadi alasan, kita harus terus-menerus memperbaiki ibadah khususnya puasa. Karena puasa seharusnya mampu mengantarkan seseorang meraih derajat taqwa, atau paling tidak mendekatinya.

Bulan Syawal menjadi ukuran sampai di mana kita bisa istiqomah, bukankah ketika Ramadan kita ringan melaksanakan qiyamul lail sholat tarawih, tilawah Al-Qur’an setiap hari, bangun tengah malam untuk tahajjud dan makan sahur, bersedekah memberi makan orang yang puasa, dan sudah seharusnya amalan-amalan tersebut mampu kita pertahankan di bulan Syawal ini, atau setidaknya tidak diabaikan semuanya.

Demikian pula nilai-nilai keimanan yang tumbuh kuat ditempa selama bulan Ramadan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memastikan puasa kita berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan Allah.

Allah memerintahkan kepada kita untuk istiqomah. Bila pada bulan Ramadan kemarin kita ringan dan mudah melaksanakan ibadah, jangan sampai sesudah Ramadan kita enggan melaksanakan ibadah. Dalam surat al-Ahqaf ayat 13 Allah juga berfirman;

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”

Tanda istiqomah adalah ibadah yang semakin bagus. Apabila dia tergelincir dalam dosa segera dia meminta ampunan Allah SWT. Orang-orang istiqomah tidak memiliki kekawatitan dan sedih hati tentang kehidupannya karena sudah tawakkal dengan yang Allah karuniakan kepadanya.



 

Selasa, 22 April 2025

Rumah, Menulis, dan Buku

 



Rasanya seperti baru sadar dari kesambet. Ya, pagi ini ada yang benar-benar beda dalam perasaan saya. Ada semangat untuk berbuat lebih baik dari hari–hari kemarin. Saatnya mencoba seefektif mungkin menggunakan waktu yang diberikan oleh Allah, agar hidup ini benar-benar penuh manfaat.

Saya menyadari selama ini masih banyak membuang waktu. Tentu saya dan juga Anda berharap menjadi manusia yang beruntung. Adapun salah satu ciri orang yang beruntung adalah mereka yang menghindari perbuatan sia-sia. "Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna." (al-Mukminun ayat 3).

Meski tidak mudah mengurangi interaksi dengan ponsel, namun saya harus mencobanya. Dan salah satu kegiatan yang bisa mencegah dari scroll ponsel sambil duduk santai adalah menulis. Harapannya bisa aktif menulis seperti dulu lagi. Beberapa tahun yang lalu hampir setiap hari bisa menulis, tapi akhir-akhir ini mungkin seminggu hanya bisa sekali mengisi blog.

Kembali dengan motivasi baru. Setelah sekian belas bulan draf buku ke-7 yang tersimpan rapi di folder laptop, hari ini dibongkar-bongkar kembali. Kalau sedang tidak ke mana-mana sebisanya rumah menjadi tempat menulis yang nyaman. Biar pelan yang penting tetap berjalan. Karena hanya demikian itu, angan-angan untuk kembali menerbitkan buku bisa terwujud.

Sepertinya tidak perlu menunggu nasihat dari motivator untuk bisa berubah. Karena motivasi yang tumbuh dari diri kita sendiri akan menjadi energi yang lebih kuat. Kalau besok semangat itu turun lagi, yang kita butuhkan hanyalah menenun semangat kembali. Yakin bisa, kita pasti bisa.

Senin, 21 April 2025

Menanti Terang Setelah Gelap

 



Refleksi peringatan Hari Kartini.

Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan judul buku yang isinya adalah kumpulan surat yang ditulis oleh R.A Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht, sedangkan penerjemahannya dari versi bahasa Belanda ke bahasa Melayu pertama kali dilakukan pada 1922. (Wikipedia)

Sekian dasawarsa tahun setelah era R.A Kartini, kini istilah gelap kembali menjadi perbincangan masyarakat kita. Beberapa waktu yang lalu viral tagar Indonesia Gelap. Gerakan 'Indonesia Gelap' ini merupakan bentuk kritik mereka kepada Pemerintahan yang membuat efisiensi anggaran tanpa mempertimbangkan kebijakan dan kepentingan masyarakat umum.

Di era demokrasi seperti saat ini, kritik akan selalu muncul. Siapa pun yang memimpin negeri ini sudah pasti harus siap dikritik, didemo bahkan dihujat. Akan selalu ada kelompok yang pemikirannya berseberangan dengan pemerintah, itu sebuah keniscayaan. Jadi tidak mungkin suara-suara sumbang itu dibungkam.

Apa benar Indonesia sedang gelap?. Tentu jawabannya akan sesuai persepsi masing-masing individu. Namun secara umum kita harus mengakui bila masih banyak sisi gelap di negeri kita. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang terkuak, nilainya sungguh di luar nalar akal sehat kita. Bila yang terungkap begitu banyak, bagaimana dengan yang lolos dan tidak diproses.

Sebagai rakyat biasa saya cuma bisa berharap. Terang segera terbit mengikis pekatnya gelap. Keadilan bisa tegak dan meruntuhkan semua kezaliman dan kejahatan orang-orang yang  tidak memiliki nurani. Mereka tega korupsi demi memeperkaya diri di tengah kesulitan masyarakat. Semoga terang akan segera menjelang…#

 


Sabtu, 19 April 2025

Kembali ke Setelan Awal

 



Memang benar apa yang disabdakan Nabi Muhammad Saw. Banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan rasa haus dan lapar semata. Mereka berpuasa tetapi tidak mendapat balasan pahala apa lagi mencapai derajat takwa.

Saat ini (bulan Syawal) adalah waktu yang tepat untuk refleksi terhadap diri sendiri (muhasabah), apakah puasa kita termasuk yang disabdakan Nabi tadi. Harus ada penilaian yang jujur, agar kita tidak terjebak dengan kebiasaan kembali ke setelan awal. Ya, sebenarnya banyak yang menjalani ibadah di Ramadan tapi tidak menjadikan takwanya meningkat.

Ada indikator yang bisa dijadikan ukuran apakah puasa kita bisa menambah kualitas takwa. Bila di bulan Syawal banyak yang pola ibadahnya kembali seperti sebelum Ramadan kemarin; jarang melakukan salat sunah, malas bersillaturrahmi, enggan bersedekah berarti tidak ada atsar puasa Ramadan yang dikerjakan kemarin.

Syawal menjadi ujian istiqamah yang sebenarnya. Bila pada bulan Ramadan ibadah kita meningkat, dan setelah Ramadan menurun kembali itu artinya belum konsisten. Seperti anak sekolah yang naik kelas kemudian harus turun lagi begitu seterusnya. Ia tidak akan mencapai derajat yang tinggi karena harus bolak-balik turun lagi.

Menjalani puasa hanya sebagai rutinitas yang dijalani karena sekadar mengikuti umumnya orang. Orang berpuasa dia berpuasa, orang bergembira saat lebaran ia pun bergembira. Ibadah hanya menjadi ritual kepantasan dan kalaziman dalam bermasyarakat. Bukan mencari Rida Allah.

 

 

 

 

Jumat, 11 April 2025

Jumat Kedua di Bulan Syawal

 



Saat ini kita tengah berada di Jumat kedua bulan Syawal tahun 1446 Hijriyah. Terasa belum lama Ramadan meninggalkan kita tanpa adanya kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa lagi, diberi kesempatan menggapai keutamaan-keutamaannya dan memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya.

Hanya sebuah doa dan harapan yang selalu kita sampaikan kepada Allah, semoga amal ibadah kita sepanjang Ramadan kemarin diterima di sisi-Nya dan kita masih diberi usia panjang untuk berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun mendatang.

Bulan Syawal seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan amal ibadah kita, atau setidaknya mempertahankan ibadah atau amalan-amalan di bulan suci Ramadan kemarin. Walau dalam kenyataannya, Syawal lebih sering menjadi bulan penurunan ibadah kaum muslimin secara umum, juga penurunan kualitas diri.

Di antara tandanya yang sangat jelas adalah perayaan Idulfitri yang seakan-akan menjadi suasana kebebasan setelah selama sebulan penuh kita menahan diri. Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jamaah salat lima waktu.

Fakta itu sesungguhnya juga menunjukkan kepada kita, bahwa puasa kita yang demikian itu masih harus diperbaiki terus-menerus. Ibadah puasa belum mampu mengantarkan seseorang meraih derajat takwa, atau mendekatinya. Kita juga bisa menggunakan hadis Nabi sebagai kaidah yang seharusnya kita perhatikan sebaik-baiknya: “Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka celakalah ia.”

Ramadan seolah menjadi tradisi tahunan yang kehadirannya dirayakan namun di sisi lain banyak yang melupakan kemuliaannya. Sehingga ketika Ramadan telah berlalu tidak ada yang membekas. Amal ibadahnya akan kembali seperti saat sebelum Ramadan. Ibarat kata, seperti anak yang naik kelas kemudian turun kembali. Ramadan tiba, ibadah meningkat lagi, dan ketika Ramadan selesai maka menurun kembali, begitu terus berulang-ulang.

Bulan Syawal menjadi ukuran sampai di mana kita bisa istikamah. Bukankah ketika Ramadan kita ringan melaksanakan salat tarawih di masjid ataupun musala, tilawah Al-Qur’an kita yang setiap hari, bangun tengah malam dan tegak berdiri untuk Tahajud, bersedekah memberi makan orang yang puasa. Dan sudah seharusnya amalan-amalan tersebut mampu kita pertahankan di bulan Syawal ini.

Maka istikamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud: 112)

Minggu, 06 April 2025

Panas Setahun Dihapus Hujan Sehari

 



Tradisi saling meminta maaf saat Idulfitri di masyarakat kita hingga kini masih tetap terjaga. Meski kita tahu sebenarnya meminta maaf tidak harus menunggu perayaan Idulfitri, namun sebagian besar masyarakat kita menganggap Idulfitri sebagai waktu yang tepat untuk saling meminta maaf.

Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat sudah pasti kita sering berbuat kesalahan. Sangat manusiawi, bila kita bergaul, bermasyarakat sering berbuat salah pada orang lain. Bukankah sifat dasar kita adalah sering salah dan lupa.

Jangan kita menjadi manusia yang mudah melupakan kebaikan orang dan justru selalu mengingat kesalahannya. Seperti peribahasa “Panas setahun dihapus hujan sehari” yang artinya kebaikan banyak dapat terhapus oleh keburukan yang sedikit. 

Bila anak kita saat ujian mendapat nilai 97, pasti kita akan memberi apresiasi yang tinggi. Orang tuanya akan menganggap wajar bila dia masih memiliki kesalahan, karena itu terlalu kecil bila dibanding dengan nilai yang benar. Mungkin itulah ilustrasi yang bisa menggambarkan tentang kesalahan orang.

Sangat lazim bila saudara atau teman kita pernah berbuat salah pada kita sekali atau dua kali. Sementara kebaikannya kepada kita sudah tak terbilang lagi. Janganlah kesalahan yang sekali atau dua kali menutup kebaikan yang besar. Seperti orang lain yang tidak mungkin selamanya benar, kita juga manusia yang pasti kan tergelincir berbuat salah pada orang lain.

 

Misi Berat Timnas Indonesia

  Pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 babak ke-4 zona Asia akan segera dihelat. Undian babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 su...