Hari
raya Idulfitri tahun 1446 Hijriyah tinggal beberapa hari lagi. Momen Idulfitri
selalu mengingatkan memori puluhan tahun silam. Ya, ketika kami masih anak-anak
kecil yang polos. Dalam setahun sekali, momen Idulfitri atau lebaran selalu
kami nantikan. Banyak hal istimewa yang hanya ada pada saat perayaan lebaran.
Lebaran banyak kue yang enak, baju kami baru semua, dan yang paling
menyenangkan kami banyak mendapat uang sangu.
Memang
hanya sebatas itu kami memaknai datangnya hari raya Idulfitri. Semua serba yang
menyenangkan. Dan kini, semua kenangan indah tempo kecil dahulu tidak pernah
saya rasakan lagi. Apa yang kami rasakan ketika masih anak kecil memang sudah
berbeda dengan saat ini. Masa kecil adalah dunia bermain, jadi semua yang
dialaminya hanya tentang kegembiraan dan permainan semata.
Ada
yang tidak pernah berubah ketika Idulfitri tiba. Dari dulu perayaan lebaran
selalu menjadi momentum keluarga untuk berkumpul. Sanak famili yang merantau
jauh dari kampung halaman sering menunggu Idulfitri tiba untuk berkunjung
melepas kerinduan. Ini yang menjadikan mudik saat lebaran menjadi agenda nasional
yang meriah.
Rasanya
ada yang kurang lengkap saat merayakan lebaran ada anggota keluarga yang tidak bisa
kumpul di rumah. Lebaran menjadi momentum berkumpul dengan keluarga. Ada suasana
keharuan, keakraban dan kenyamanan bisa shalat Idulfitri beserta seluruh
keluarga, makan bersama-sama kemudian saling bersilaturrahim.
Idulfitri
memang memang menjadi hari besar umat Islam seluruhnya, namun perayaan lebaran
memang hanya ada di negeri kita tercinta. Ini adalah berkah. Sebuah tradisi
keagamaan dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun
sebagai ciri khas masyarakat nusantara. Seperti yang kita ketahui, berbagai
tradisi unik dan sarat makna muncul untuk menandai dan menambah meriahnya
lebaran di berbagai penjuru daerah di Indonesia.
Gaung lebaran juga begitu semarak di dunia maya. Berbagai platform
media sosial menjadi sarana menautkan hati dan menyambung tali persaudaraan.
Bahkan, lebaran kini tidak hanya dirayakan kaum muslimin saja. Tidak sedikit
umat beragama lain ikut serta merayakan. Ungkapan “Mohon maaf lahir dan
batin” seolah menjadi kata kunci pada waktu bersua dengan saudara, teman,
kenalan dan tetangga jauh maupun yang dekat.
Meski perayaan lebaran tiap-tiap daerah berbeda namun sebenarnya
ada kesamaan yang mendasar. Lebaran pada intinya menjadi ajang silaturrahmi dan
menjalin ukhuwah sesama kaum muslimin. Budaya saling meminta maaf juga sudah
menjadi kelaziman setiap kali umat Islam Indonesia merayakan Idulfitri. Ada
tradisi yang sudah sangat familiar di masyarakat kita ketika lebaran yaitu;
halal bihalal, hari raya ketupat dan mudik.
Halal
bihalal. Kemeriahan Idulfitri di negeri kita
sudah menjadi budaya. Halal bihalal yang sebenarnya secara etimologi berasal
dari Bahasa Arab namun tidak dikenal dalam ‘mufrodat’ dan
tidak dipakai dalam struktur bahasa baku orang Arab. Dalam istilah yang
sederhana mungkin bisa dikatakan halal bihalal adalah bahasa Arab
yang hanya dipakai di Indonesia.
Menurut
sebuah literatur asal mula halal bihalal ada sejak awal-awal kemerdekaan
Indonesia. Bung Karno menghendaki adanya sillaturahim yang melibatkan banyak
orang (massal). Setelah berdiskusi dengan KH.Wahab Hasbullah akhirnya
disepakati konsep halal bihalal yang pada awalnya hanya dilakukan oleh Presiden
Soekarno dengan mengundang tokoh-tokoh elit politik dengan tujuan menyatukan
bangsa. Hal ini yang kemudian ditiru dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
Ketupat. Idulfitri
juga identik dengan hari raya ketupat. Ketupat menurut sebagian sumber sudah
ada sejak sebelum Islam masuk ke Indonesia. Menurut sebagian catatan sejarah
ketupat dijadikan sebagai bagian perayaan Idulfitri dimulai sejak pemerintahan
kerajaan Islam di Demak. Ketupat adalah makanan yang dibuat dari janur dan
diisi dengan beras memiliki makna filosofis.
Konon,
kata ketupat yang dalam Bahasa Jawa disebut Kupat berasal dari
kata aku lepat (saya salah), artinya ketupat sebagai simbol
saling memaafkan anatara saudara dengan saudara yang lain, orang tua ke
anak-anaknya, guru ke murid-muridnya.
Sebagian
ada yang mengatakan ‘Kupat’ berasal dari Bahasa Arab kaffatan yang
artinya sempurna. Setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa kita
disunahkan puasa pada hari kedua bulan Syawal sampai hari ke-tujuh (selama
enam hari), setelah itu pada hari ke-tujuh malam kedelapan Syawal membuat
selamatan kecil dengan membuat ketupat (bodo kupat), ini mungkin yang
dimaksud sempurna dalam ibadah puasa. Sebagaimana dalam hadits disebutkan “Barang
siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian ia ikuti dengan berpuasa enam hari di
bulan Syawal, ia akan mendapat pahala seperti puasa setahun penuh”.
Hari
Raya ketupat hanya ada di negeri kita dan sebagian negeri rumpun Melayu. Ini
semakin memperkaya budaya bangsa kita dan menjadikan perayaan lebaran semakin
semarak. Secara syariat, kupatan juga selaras dengan ajaran agama Islam, yaitu
sedekah. Untuk itu, sangat penting menjaga tradisi mulia peninggalan leluhur
kita ini.
Mudik. Hari
raya sudah pasti akan menjadi hari spesial bagi umat Islam khususnya di
Indonesia. Akan kurang sempurna bila tidak dirayakan dengan keluarga. Ini yang
menjadi alasan mengapa harus mudik ke tanah kelahiran. Dalam makna lain mudik
adalah bentuk kecintaan anak ke orang tua dan saudaranya yang masih tinggal di
kampung halaman. Hakikat mudik adalah menyambung tali silaturrahim.
Puasa
merupakan bentuk ibadah vertikal (hablum minallah) sedangkan
mudik adalah bentuk hubungan sesama manusia (hablum minannas),
tentu tidak akan sempurna ibadah puasa kita bila hubungan kita dengan keluarga
tidak dijalin dengan baik. Puasa yang dilakukan dengan landasan iman dan semata
karena Allah dijanjikan mendapatkan ampunan dari Allah sehingga
bersih semua dosa-dosanya laksana bayi yang baru lahir.
Tinggal
dosa kepada sesama manusia yang harus kita bersihkan dengan permohonan maaf,
dan mudik merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat kita yang bertujuan
merayakan Idulfitri dan sarana permohonan maaf sungkem ke orang
tua dan seluruh kerabat.
Inilah
sebagian tradisi sosial masyarakat ketika merayakan lebaran yang sudah menjadi
ciri khas masyarakat kita. Akan menjadi suatu yang tidak lazim apabila
merayakan Idulfitri tidak melaksanakan tradisi yang sudah turun menurun ini. Tidak
ada yang salah dengan tradisi sosial kita bila ditinjau dari syariah. Justru
semua tradisi tersebut menjadikan perayaan Idulfitri lebih bermakna dan nampak harmoni.
Tentang
Penulis
Penulis
adalah Kepala Madrasah Ibtida’iyah Miftahul Huda Pakisaji Kecamatan Kalidawir
Tulungagung. Aktivis masjid, pemerhati pendidikan, dan peminat dunia literasi
yang aktif menulis di Blog:
https://penulisspemulaa.blogspot.com