Peringatan Hari
Santri Nasional yang jatuh setiap tanggal 22 Oktober selalu disambut dengan
suka cita dan semangat kebangsaan, merayakan peran historis santri dalam
kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Namun, perayaan tahun ini hadir di tengah
awan mendung ujian berat yang menerpa institusi pondok pesantren, menuntut
refleksi mendalam dari seluruh komunitas.
Ujian pertama yang
dihadapi adalah terkait fondasi fisik dan keamanan. Runtuhnya bangunan Pondok
Al-Khozini baru-baru ini menjadi pengingat bahwa tradisi luhur tidak boleh
mengesampingkan aspek teknis modern. Tragedi ini bukan hanya kerugian material,
tetapi juga merenggut rasa aman, sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar
mengenai pemeliharaan infrastruktur, standar konstruksi, dan pengawasan berkala
di lingkungan pesantren.
Sementara itu, ujian
kedua menyentuh ranah reputasi dan integritas moral. Kasus pemberitaan negatif
yang pernah dialami Pondok Lirboyo menunjukkan betapa rentannya citra pesantren
di hadapan publik dan media sosial. Pesantren, sebagai pusat pendidikan
karakter, memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya mengajarkan etika,
tetapi juga mengimplementasikannya secara transparan dalam tata kelola
sehari-hari.
Meski diterpa badai,
kekuatan sejati pesantren terletak pada daya lenting dan akar tradisi yang
kuat. Komunitas santri secara historis selalu berhasil melewati tantangan
zaman, dari era kolonial hingga krisis modern. Ujian sejatinya adalah
katalisator yang memaksa pesantren untuk beradaptasi, berbenah, dan membuktikan
relevansi mereka. Ujian ini menjadi kesempatan bagi para kiai dan alumni untuk
memperkuat jaringan, memobilisasi sumber daya, dan menerapkan praktik tata
kelola terbaik tanpa kehilangan kekhasan spiritual dan kesederhanaan ajaran salaf.
Ini adalah panggilan untuk bertransformasi menjadi institusi yang modern secara
manajemen, tetapi teguh pada prinsip.
Oleh karena itu,
menyambut Hari Santri tahun ini, para santri, alumni, dan pengasuh berdiri di
persimpangan antara perayaan dan perbaikan. Kegembiraan atas pengakuan peran
santri harus diimbangi dengan tekad baja untuk mengatasi kelemahan internal
yang terungkap. Pondok pesantren harus keluar dari zona nyaman, memastikan
bahwa setiap bangunan adalah tempat yang aman, dan setiap pengasuh adalah
teladan moral yang tak tercela.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar