Melanjutkan tulisan yang kemarin. Ada beberapa pengalaman tentang orang memandang arti selembar ijazah. Dulu kami memiliki dosen yang sangat pandai. Buktinya dalam waktu yang bersamaan beliau bisa kuliah di beberapa perguruan tinggi. Dan yang luar biasa selalu lulus dengan predikat cum laude. Dan menurut yang beliau sampaikan, jumlah ijazah dari perguruan tinggi yang beliau dapatkan hampir mencapai tiga puluh ijazah dengan bidang keilmuan yang berbeda-beda. Kemudian pengalaman beda yang lain. Ada yang kuliah sampai selesai namun tidak mengambil ijazahnya. Ketika ditanya dia menjawab: "Saya kuliah mencari ilmu bukan mencari ijazah". Jawaban yang "idealis", dan pasti mayoritas orang akan menganggap dia aneh.
Sebenarnya intinya saya hendak mengatakan ilmu itu penting. Masalah metode mencari ilmu dengan jalur pendidikan formal atau bukan, itu tidak terlalu substansial. Bagi mereka yang melalui lembaga pendidikan tentu akan mendapatkan ijazah sebagai bukti sahnya. Sedangkan bagi pencari ilmu jalur informal, seperti pesantren model salaf (kuno), datang langsung ke para ulama tentu tidak akan mendapatkan ijazah. Persamaannya adalah pada aspek mencari dan mendapatkan ilmu.
Perumpamaan orang berilmu seperti orang yang menggunakan minyak wangi. Harumnya semerbak dan pasti akan diketahui oleh orang dekat dengannya. Tidak perlu dia mengatakan, "Saya memakai minyak wangi....". Karena ketika memang sudah harum tidak perlu harus diumumkan. Sama halnya tidak perlu seseorang mengatakan "Pendidikan saya tinggi...." Karena orang pasti bisa membedakan orang terpelajar dengan yang "urakan". Dari caranya bertutur kata dan tindak-tanduknya sudah mencerminkan semuanya.
Entah tepat apa tidak bila saya membuat perumpamaan. Ijazah adalah bungkus, hanya kemasan. Sedangkan ilmu, kemampuan dan pengetahuan adalah isinya. Dalam kemasan sudah tertera apa kandungan di dalamnya. Kapasitas pemegangnya mestinya sesuai dengan ijazah yang dimiliki. Menjadi masalah bila antara bungkus dan isinya tidak sama. Seperti guyonan lebaran, kaleng Khong Guan tapi isinya Rengginang, itu sama dengan HOAX.
“Kalau memaknai ijazah hanya dari fisiknya saja, maka bisa jadi ijazah dikatakan tidak penting. Namun bila memaknai ijazah dari bagaimana proses mendapatkannya, lalu pengalaman dan ilmu yang melekat dari si pemegang ijazah dan bagaimana dengan ilmu itu bisa membuat perubahan dan sesuatu yang bermanfaat, maka ijazah menjadi sesuatu yang sangat penting”. Begitu kata Bu Dhiana dalam komennya. Memang yang penting bukan ijazah, tetapi dibaliknya ada sebuah perjuangan. Dalam hal ini, saya juga sependapat. Rasanya banyak yang memiliki pengalaman sulitnya menyelesaikan sekolah (kuliah). Dan, itulah fakta bahwa untuk mendapatkan selembar ijazah tidak pasti diraih dengan mudah. Dan saya adalah bagian dari mereka yang berjuang keras itu.
Sebagai penutup, mengutip apa yang disampaikan Prof.Naim,“Semua penting sesuai konteks dan kebutuhan”. Masing-masing kita akan memiliki pandangan sendiri tentang pentingnya ijazah. Ketika kita sedang memerlukan sesuatu ternyata kita memiliki, itu adalah sebuah nikmat. Jangankan sebuah dokumen penting ijazah, korek telinga pun menjadi sangat penting ketika kita sedang membutuhkannya… he..he [...].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar