Bila melatih diri menulis, ya usahakan terus menulis. Sampai pada tahap kita sudah biasa. Bagi anak yang belajar naik sepeda, yang terpenting harus berjalan. Kayuh sepeda, berjalan terus. Karena ketika berhenti justru akan jatuh. Nanti, ketika sudah pandai naik sepeda semua menjadi impulsif. Gerak kakinya sudah spontan, tangannya sudah menjadi lentur dan semua berjalan dengan reflek.
Bila sudah mahir bersepeda, dia tidak akan berpikir apapun tentang geraknya. Karena sudah menyatu semuanya. Baginya berjalan kaki dengan bersepeda sudah tidak ada bedanya. Mungkin ini yang kita harapkan. Dengan terus menulis dan menulis, suatu saat kita sudah terbiasa dan tidak merasa ada “beban” lagi.
Ketika sedang menulis, sebenarnya saya hanya menyampaikan “haknya” pengalaman, kegelisahan hati dan pemikiran yang sederhana dalam sebuah catatan. Karena dengan itu semua terasa lebih segar perasaan saya. Dan kumpulan catatan itu sebenarnya serupa lukisan yang abstrak. Makna dan maksudnya hanya pelukis yang tahu.
Menulis membuat selalu mencari dan menemukan apa yang tersimpan di ruang-ruang hati yang dalam. Semua itu telah menjadi abadi dalam ingatan. Seribu peristiwa dan kenangan yang terpedam tertumpuk menunggu untuk dikisahkan kembali. Memang tidak semua bisa dituangkan dalam susunan kata. Ada yang harus tetap tinggal dalam jiwa, maya tapi sudah menjadi bagian rasa yang tak terpisahkan.
Ada
yang menemukan kedamaian dalam secangkir kopi. Ada pula yang menemukan
kebahagiaan dalam alunan musik klasik. Dan saya percaya, ada juga yang jiwanya
tentram setelah merakit kata, merangkai kalimat dan menyusun bahasa jiwa dalam
deretan kata. Dengan menulis kita laksana melakukan pengembaraan di samudera
pengetahuan, pendakian gunung wawasan dan perjalanan menempuh rimba
kebijaksanaan. Lengkap sudah. Menulis adalah bagian khazanah kehidupan yang penuh arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar