Sabtu, 17 April 2021

INDONESIA VS MALASYIA



Secara nama kedua negara memang mirip. Dilihat dari bahasanya juga bersumber dari akar yang sama, Bahasa Melayu. Bila ditinjau dari budaya juga mirip-mirip, sebelas dua belas atau beti (beda-beda tipis) saja. Dan fakta yang penting, keduanya mayoritas berpenduduk Islam. Tapi, mengapa antara Malasyia dan Indonesia sulit untuk akur. Dari dulu sering terjadi riak konflik yang memancing sentimen nasionalisme. Bahkan dulu, tahun 1963 Presiden Soekarno pernah membuat Pernyataan resmi tentang politik konfrontasi “Ganyang Malaysia”.

Beberapa rentetan peristiwa ketegangan antara Malasyia dan Indonesia diantaranya: Konflik Sipadan dan Ligitan, pergeseran patok perbatasan, Klaim Batik, Sengketa Ambalat, dan pada Agustus 2017, masyarakat Indonesia kembali dibuat panas oleh Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games 2017. Bendera Indonesia dicetak terbalik pada buku panduan acara Sea Games 2017. Tentu besar kemungkinan ini sebuah kesengajaan, bukan karena faktor kelalaian.

Sampai saat ini pun bila kita mengintip dunia maya, netizen Malasyia dan Indonesia statusnya masih dalam situasi “perang”. Saling ejek dan serang komentar menjadi hal lazim yang kita jumpai. Seperti musuh bebuyutan yang sulit untuk berdamai. Terlebih ketika timnas Indonesia bertanding, akan selalu membawa situasi yang “panas” di lapangan hijau ke seluruh lini media sosial kedua negara. Seperti semboyan suporter fanatik, "Kita boleh kalah dari negara lain, tapi tidak boleh kalah dari Malasyia". Dalam catatan resmi, Indonesia dan Malaysia sudah pernah saling berhadapan dalam 71 pertandingan di semua ajang. Hasilnya, tim Merah-Putih memetik kemenangan 26 kali, Malaysia menang 25 kali, dan sebanyak 20 laga lainnya selesai tanpa pemenang. Data yang sebenarnya cukup berimbang dan menunjukkan persaingan ketat.

Sepertinya penggemar bola kedua negara tidak akan mungkin bisa rukun. Tapi beda cerita dengan penggemar musik kedua negara. Pada era tahun 90-an, Malasyia dan Indonesia mengalami zaman “keemasan” musik  slow rock-nya. Di Indonesia muncul Nike Ardila, Popy Merkuri, Nicky Astria dan Inka Christie. Mereka sangat terkenal dan digemari di Malasyia. Sementara dari negeri Jiran ada Salim Iklim, Amy Search, Ella dan Shima yang juga sangat populer di Indonesia. Tapi itu cerita yang sudah lalu. Kini musik tidak lagi bisa menyatukan kedua bangsa yang serumpun. Ya, karena selera musik generasi sekarang mungkin sudah tidak sama.  

Kalau kita menganggap Malasyia sebagai negara pesaing, seharusnya prestasi yang menjadi ukuran. Katanya pertumbuhan ekonomi mereka (sebelum pandemi) sangat baik, Malaysia dinyatakan sebagai negara kedua yang berkembang pembangunannya setelah India, dan katanya lagi, Malaysia berada di antara 15 negara utama untuk tujuan investasi. Lalu apa prestasi kita?. Jangan-jangan kita hanya sibuk dan ramai di media sosial menyerang mereka, tapi dalam kenyataannya kita justru jauh tertinggal langkah dari mereka.

 

 

 

 


z

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menikmati Pagi

  Salah satu hal yang saya sukai adalah olahraga di pagi hari. Kalau tidak bersepeda biasanya saya jalan kaki atau lari-lari kecil. Udara ...