Lama kami berbincang-bincang malam itu. Sahabat yang sudah saya anggap sebagai guru, panutan, pembimbing ruhaniah atau orang yang saya “tuakan”. Rumahnya yang agak jauh dari keramaian membuat saya nyaman bila berkunjung ke sana. Malam itu, beliau berbicara tentang “ilmu tua”. Memang selama ini sudah sering mendengar istilah itu. Namun secara pasti saya sendiri juga tidak tahu apa maksudnya. Dalam bayangan saya, ilmu tua adalah ilmu hakikat. Ilmu yang menjadi laku para sufi. Sebagaimana ungkapan, “Syariat adalah pohon, tarekat dalah rantingnya, makrifatnya adalah daunnya, hakikat adalah buahnya. Alquran menghimpun semuanya dengan dalil dan isyarat, baik lewat tafsir maupun takwil.”
Mengutip dari kitab Sirr al-Asrar karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang macam-macam ilmu. Menurut beliau, semua ilmu dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, ilmu lahiriyah, yaitu ilmu syariat yang berupa perintah, larangan, dan segala bentuk hukum. Kedua, ilmu syariat batin atau yang disebut juga ilmu tarekat. Ketiga, yaitu ilmu tarekat batin atau yang disebut juga ilmu makrifat. Sedangkan yang terakhir adalah inti ilmu batin atau yang disebut juga ilmu hakikat.
Mungkin itulah maksud teman saya tadi. Ilmu yang tertinggi adalah hakikat, intinya ilmu. Menurut beliau, pada masanya seseorang harus mencari guru sejati. Guru yang mengenalkan ilmu hakikat, bukan ilmu syariat semata. Guru yang mampu membimbing batin muridnya sehingga laku hidupnya benar-benar lurus sesuai kehendak Allah. Sepertinya belum sampai kemampuan pikiran menyentuh ranah itu, masih terlalu jauh.
Mempelajari ilmu hakikat, ilmu billah bagi sebagian masyarakat, dianggap sesuatu yang di luar kebiasaan karena dianggap ‘membahayakan’ tatanan syariat. Hal demikian sengaja dibangun di tengah-tengah masyarakat demi melindungi mereka agar tidak tersesat karena terlalu dalam masuk ke wilayah ilmu yang sifatnya batin. Ilmu hakikat memang rawan penyimpangan-penyimpangan. Banyak cerita yang sudah kita dengar, ilmu hakikat bisa mengakibatkan aqidah seseorang “bubrah”. Sebut saja dalam kisah Walisongo ada sosok Syekh Siti Jenar dengan ajaran “Manunggaling kawulo Gusti”.
Nasihat para Ulama Salaf, hakikat harus diawali dengan syariat yang benar. Hakikat yang meninggalkan syariat adalah kebatilan. Namun syariat semata tanpa mengenal hakikat menjadika ibadah seseorang belum sempurna. Dua-duanya adalah hal penting yang tak terpisahkan. Kalau kita menggambarkan dengan amalan ibadah shalat misalanya, shalat harus dilakukan dengan khusyu’, meskipun khusyu’ bukan salah satu rukun dan syarat sahnya shalat. Shalat yang lalai dari mengingat Allah akan menjadi amalan yang tidak sempurna. Namun, hanya mengingat Allah tanpa mengerjakan shalat adalah sebuah kejahilan yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar