Diriwayatkan dahulu ada beberapa sahabat Nabi yang ingin meningkatkan ibadah dengan cara yang “ekstrem”. Masing-masing dari mereka bertekad ada yang ingin puasa terus menerus, ada yang ingin ibadah di sepanjang malam setiap hari, ada juga ada yang ingin tidak menikah sama sekali.
Di lain hari, mereka bertemu dengan Rasulullah yang mana beliau sudah mengetahui tekad sahabat tersebut. Rasulullah bersabda: “kalian mau beribadah seperti itu? Demi Allah! Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa, namun ada hari di mana aku berpuasa dan ada hari yang aku tidak berpuasa, aku shalat dan aku juga memiliki waktu tidur, dan aku juga menikahi perempuan, siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka dia bukan golonganku.”
Sebaik-baik teladan adalah pribadi Rasulullah. Sedangkan beliau mencontohkan, bagaimana beribadah namun tidak meninggalkan umatnya. Beliau berada di tengah masyarakat dan melakukan aktivitas layaknya orang pada umumnya. Rasulullah memberi keteladanan terhadap masalah keduniaan pada para pengikutnya, seperti pergi ke pasar, berumah tangga, dan bergaul dengan masyarakat.
Keinginan beberapa sahabat yang ingin mengkhususkan hidupnya hanya beribadah dan mengabaikan urusan duniawi ternyata tidak mendapat restu dari Rasulullah. Beribadah dengan cara meninggalkan kehidupan sosialnya sama halnya dengan orang yang egois. Seolah-olah ia ingin mencari selamat sendiri dan mengabaikan kewajibannya terhadap saudara seiman yang lain.
Konsep menjadi manusia terbaik, diukur dari seberapa besar perannya memberi kemanfaatan bagi kehidupan orang lain. Maknanya kita tidak meninggalkan masyarakat demi mengejar capaian ibadah yang bersifat pribadi. Apakah bisa dikatakan orang baik, yang salatnya khusyu’ tapi tidak peduli dengan tetangga yang membutuhkan bantuannya. Tentu yang sempurna ialah mereka yang memenuhi kewajiban pribadinya, dan di sisi yang lain ia juga berkhidmah pada masyarakat.
MasyaAllah, sangat bermanfaat tulisannya.
BalasHapusTerima kasih.
Sama-sama Mas Alfin
BalasHapus