Cerita seorang guru yang begitu senangnya
ketika bertemu dengan muridnya yang sudah menjadi dokter. Dengan wajah
berseri-seri ia menyapa sang murid. Ternyata ingatan ibu guru tadi masih jernih. Dan dengan lancar ia bisa menyebut nama murid di hadapannya, kelas dan sekolah tempat dia
belajar dulu. Ia mengenal dengan baik muridnya karena murid tersebut termasuk
salah satu siswa yang berprestasi.
Rupanya gayung tidak bersambut. Murid yang
disapa responnya dingin-dingin saja. Bahkan dengan nada datar ia berkata telah
lupa dengan gurunya tadi. Ternyata murid yang dibanggakan sikapnya di luar
dugaan.
Dalam kesempatan yang berbeda, ibu guru tadi
bertemu dengan muridnya yang lain. Kali ini yang menegur justru muridnya.
Muridnya memang hanya mengendarai sepeda motor dan tampilannya juga bersahaja.
Tapi kesopanan dan keramahan tutur katanya mengesankan. Bahkan tidak sekadar
bertegur-sapa, sang murid juga membantu beberapa keperluan gurunya. Rupanya
pengalaman berjumpa dengan dua murid yang berbeda karakter tadi menyadarkan ibu
guru. Bahwa bekal ilmu tidak cukup, tapi harus bekal adab.
Apa yang menjadikan kebanggaan seorang guru
ketika bertemu dengan muridnya. Ternyata sederhana, menyapa dan mengingatnya. Karena
itu bentuk penghargaan meski yang dicari guru bukanlah penghargaan semata. Guru
sejatinya tidak pernah berharap yang lebih dari itu. Cukup beramah-tamah dan
bicara seperlunya. Meski kadang hal seremeh itu sering luput didapat.
Meski sebenarnya status guru itu tidak ada
akhir masanya, tak akan ada namanya bekas guru. Tapi tidak apa-apa bila murid
tidak mengingat gurunya lagi. Guru juga tidak menuntut atau sedih dengan semua
itu. Doa guru tetap yang terbaik bagi murid-muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar