Seandainya ditanyakan kepada deretan orang-orang
yang terkaya di dunia. Apakah mereka sudah merasa puas dan cukup apa yang telah
dimilikinya, pasti jawabannya belum. Buktinya semakin kaya maka semakin banyak keinginannya.
Semakin bertumpuk hartanya maka semakin cinta dengan dunia.
Kekayaan dunia yang melimpah sebenarnya tidak akan
pernah membuat orang puas. Sudah tabiat manusia selalu ingin lebih. Seandainya
dia sudah memiliki satu, maka ia menginginkan yang kedua, ketiga dan
seterusnya. Memang benar, tidak kenyang perut manusia dari harta benda hingga
mulutnya tersumpal oleh tanah.
Kecintaan terhadap harta benda yang berlebihan
sebenarnya merusak. Ini seperti yang disabdakan Rasulullah. Dari Ka’ab bin
Malik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing,
tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan
kedudukan yang sangat merusak agamanya.”
Harta yang banyak tak akan pernah membuat hati
manusia puas bila ia tidak pernah bersyukur. Jadi yang penting bukan banyaknya
tapi kemauannya untuk bersyukur. Bila bersyukur, yang sedikitpun akan terasa
cukup dan memuaskan hatinya.
Orang kaya yang sejati adalah mereka yang sedikit
keinginannya. Hidupnya sudah merasa serba cukup. Nikmat dari Allah selalu ia
syukuri, sehingga ia lupa meminta nikmat yang lainnya. Semakin bersyukur, maka
akan semakin lapang hatinya. Dalam syukur ada kedamaian dan keindahan hidup.
*****
Ketika kecil saya teringat pernah mendapat cerita
tentang seorang penggali batu. Alkisah, seorang penggali batu setiap hari
mencari batu di kaki gunung dengan peralatan yang sederhana. Pekerjaan menggali
batu bukan pekerjaan yang mudah, tapi karena memang sudah tidak ada pilihan
lain tetap saja ia kerjakan.
Suatu hari ketika cuaca panas terik dia sedang
menggali dan memecah batu-batu gunung yang keras. Karena panasnya matahari
begitu menyengat, dalam hati dia mengeluh. Tidak enak rasanya jadi penggali
batu, setiap hari kepanasan hingga kulit legam laksana terbakar. Andai saja aku
bukan manusia, dulu Tuhan menciptakan aku sebagai matahari, alangkah senangnya.
Matahari ciptaan Tuhan yang hebat, besar, panas dan tidak akan terkalahkan oleh
ciptaan yang lain.
Tak berselang lama mendadak cuaca redup. Matahari
tertutup oleh mendung tebal hingga sinarnya tak lagi sampai ke bumi. Si
penggali batu menatap ke langit seraya bergumam. Tuhan, ternyata matahari bukan
makhluk-Mu yang terkuat. Lebih hebat kumpulan mendung tebal yang berarak itu.
Seandainya engkau menciptakan aku sebagai mendung Tuhan, tentu akau lebih
senang.
Lagi-lagi cuaca berubah terang. Kumpulan mendung
hitam tersapu angin yang bertiup kencang. Si penggali batu pun terkesima. Oh,
rupanya angin lebih kuat dari mendung yang tebal. Sekali berhembus, lipatan
mendung yang menutup matahari kini telah sirna. Tuhan… seandainya aku adalah
angin, maka aku akan menjadi ciptaan-Mu yang terkuat.
Seakan Tuhan sedang menggiring rasio si Penggali
batu. Tiupan angin yang kencang yang menerpa gunung berbalik. Sekuat apapun
angin yang bertiup tentu tak akan mampu menggeser gunung walau sejengkal. Kini
penggali batu berubah pikiran lagi. Ia membayangkan menjadi gunung. Alangkah
kuatnya gunung, karena ia tidak akan goyah walaupun diterpa angin besar.
Nalarnya terus berputar. Kali ini dia sadar, bahwa
gunung bukan ciptaan terkuat. Buktinya selama ini dia bekerja mencari batu
gunung. Setiap hari gunung yang dianggap kokoh dikikis oleh gancu dan palu besar
yang dia bawa. Digali dan diambil batunya tanpa sedikitpun bisa melawan. Oh
Tuhan, rupanya makhluk terkuat yang telah Engkau ciptakan adalah manusia. Aku
tak sepantasnya mengeluh, karena serendah-rendahnya aku tetaplah lebih mulia
dari ciptaan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar