Salah satu tanda kualitas keimanan seorang muslim adalah mampu menjaga lisannya dari perkataan yang menimbulkan dosa. Lisannya tidak sembarangan bertutur-kata, karena terpeleset lisan sering menimbulkan dampak yang lebih buruk daripada terpeleset kaki.
Bahkan Rasulullah pernah bersabda; "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)" (HR: al-Bukhari dan Muslim).
Saat ini sudah menjadi sebuah kelaziman orang berinteraksi dengan individu lain menggunakan media sosial, apakah itu Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp maupun yang lainnya. Apa yang ditulis dalam platform media sosial tersebut sebenarnya hukumnya sama dengan apa yang dikatakan melalui lisan.
Bila yang disampaikan baik, tentu akan mendapatkan balasan yang baik (pahala) dari Allah. Namun bila media sosial isinya hanya keburukan seperti; ghibah yang menyebabkan pertengkaran, membuka rahasia orang lain, banyak komentar yang akan menimbulkan permusuhan antarkelompok dan golongan, menyebar berita bohong (hoaks) bahkan fitnah, senda gurau dengan memperolok-olok orang lain maka itu semua adalah bagian dari keburukan lisan.
Jangan pernah menganggap remeh dengan dosa lisan. Karena Allah memberi peringatan keras tentang lisan yang tidak terjaga. Lisan yang pekerjaannya menebar keburukan dan selalu mencela orang lain.
Dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, Allah berfirman; Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Karena media sosial adalah kepanjangan dari lisan seseorang, maka setiap akibat darinya sama dengan apa yang lisan katakan. Bahkan dengan kemampuan jangkauan yang begitu luas dampak buruknya tentu lebih besar dari perkataan lisan secara langsung. Tentu kita tidak ingin celaka hanya karena tidak bisa mengendalikan lisan. Sudah banyak contoh dalam kehidupan ini, orang tergelincir karena tidak mampu mengekang lisannya. Dan ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan." (HR. al-Bukhari).
Yang lebih utama adalah selalu meneliti keburukan diri sendiri daripada selalu mencari keburukan dan kesalahan orang lain. Karena bila kita jujur akan selalu ada kekurangan dan keburukan kita. Dengan introspeksi akan selalu ada usaha untuk membenahi kekurangan dan tidak tertarik meneliti kesalahan orang lain.
Allah telah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik”.
Memang lidah atau lisan kita hanya kecil, namun bisa menimbulkan bahaya yang sangat besar. Seperti falsafah para leluhur kita zaman dahulu; “Ajining diri saka lathi, Ajining raga saka busana”, kehormatan diri atau harga diri bergantung dari tutur kata. Sikap luhur terbentuk karena pribadi yang selalu berhati-hati dalam berkata. Lidahnya di belakang hati, artinya berpikir dahulu baru berkata-kata.
Seseorang yang perkataannya baik, menepati janji, memiliki unggah-ungguh dan menghargai orang lain akan memiliki kehormatan dalam pandangan orang. Sebaliknya tutur kata yang jelek dan kasar akan menjadikan orang kurang mendapat respek. Demikian pula kehormatan badan kita terletak dari pakaian yang dikenakan. Penampilan yang baik adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Tampilan fisik yang bersih dan rapi secara umum adalah gambaran kepribadian yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar