Mbah
Jono termasuk warga yang kurang mampu di kampung kami. Beliau hanya tinggal
dengan istrinya di rumah kecil dari bambu (gedhek) di pinggir sawah dan agak jauh
dari tetangga. Keseharian pasangan suami istri yang sudah uzur ini banyak dihabiskan
di sawah belakang rumah mereka. Keduanya memiliki sepetak tanah yang tidak
seberapa luas namun ditanami berbagai macam sayur-mayur.
Dari
hasil menanam sayur inilah keluarga kecil Mbah Jono bisa menyambung hidup.
Meski tidak banyak sayur yang bisa dipanen namun bisa ditukar dengan beras,
minyak, bumbu dapur dan keperluan lainnya di warung sembako Mbak Darmi yang
lumayan besar di desa kami.
Kehidupan
keluarga Mbah Jono yang kelewat sederhana sebenarnya tidak luput dari perhatian orang-orang yang dermawan di kampung kami. Tidak jarang mereka memberi sedekah
berbagai kebutuhan harian bahkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Namun
tetap saja Mbah Jono hidup seperti biasanya, tidak ada yang berubah.
Syahdan setelah mendapat banyak bantuan dari orang-orang di kampung, Mbah Jono tidak
menyimpan atau menikmati sendiri apa yang diterimanya. Malahan beliau akan membagi-bagikan
kepada orang yang yang lebih memerlukannya. Dan sering kali juga, Mbah Jono “nyangoni”
anak-anak sekolah yang lewat depan rumahnya.
Tidak
banyak orang yang memiliki prinsip hidup seperti Mbah Jono. Beliau selalu
berterima kasih dan tidak menolak setiap diberi sesuatu. Tapi apa yang
diterimanya hanya dipegang sesaat, karena segera beliau akan memberikan kepada
orang lain. Terima kasih ya terima dan kasih, menerima kemudian mengasihkan ke
orang lain.
Memang
hidup ini penuh warna. Ada yang cinta dengan harta sehingga dia mengumpulkan
sebanyak-banyaknya yang ia bisa. Namun ada juga yang menggunakan harta sebatas
yang dibutuhkan saja, selebihnya akan disalurkan kepada orang-orang yang
memerlukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar