Minggu ini “dunia” kita dipenuhi dengan berita
meninggalnya putra sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Emmeril Kahn
Mumtadz atau Eril, meninggal lantaran tenggelam di sungai
Aare Bern, Swiss. Dua pekan kemudian jenazahnya ditemukan di bendungan
Engehalde. Eril kembali ke pangkuan ilahi di saat usia masih belia.
Kepergiannya ditangisi khalayak ramai. Sepenjuru negeri
juga ikut bersimpati. Dari layar kaca televisi sampai platform media sosial
semua khabarnya tentang Eril. Memang maut sebuah misteri. Sering kematian
datang dengan mendadak sehingga betul-betul mengejutkan. Sebenarnya kita semua
sudah memahaminya, meski tetap saja kita dibuat kaget.
Ada orang yang diberi usia singkat tapi dikenang dengan
kebaikan-kebaikannya. Ada pula orang yang diberi kesempatan hidup yang panjang
namun ia gagal memanfaatkan kesempatan, tidak meninggalkan jejak kebaikan. Maut
adalah nasihat bagi kita yang masih kehidupan. Ia datang tanpa menunggu kita
sudah siap atau belum. Yang berbadan sehat dan masih muda bukan garansi pertanda
masih panjang usianya. Amat banyak contohnya dalam kehidupan ini yang terlena.
Kematian tidak pernah membedakan derajat dan status sosial
seseorang. Apakah anak pejabat, orang kaya maupun rakyat jelata semua tiada
daya ketika waktu kematian telah tiba. Tidak ada negosiasi.
Semua orang sadar bahwa ia pasti akan mengalami kematian.
Tapi sedikit saja yang mau merenung dan mengambil pelajaran. Banyak yang “sibuk”
takut sementara tidak berusaha mempersiapkan segalanya. Tiada guna semua ketakutan
itu, karena pasti tidak akan menjadi sebab tertundanya maut. Sepenggal kisah Eril
menjadi pengingat kepada kita semua, bahwa maut cepat atau lambat pasti akan
menjemput kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar