Selasa, 26 Agustus 2025

Teman Sejati di Tengah Banyaknya Relasi

 

 



Dalam kehidupan, kita akan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Kita menjalin perkenalan, membentuk hubungan, bahkan berjejaring demi berbagai keperluan. Namun, seiring waktu, kita menyadari bahwa dari sekian banyak relasi yang terjalin, hanya sedikit yang benar-benar bisa disebut sebagai sahabat. Persahabatan sejati bukan tentang seberapa lama kita mengenal seseorang, tapi tentang kedalaman hubungan dan ketulusan yang ada di dalamnya.

Sahabat adalah orang yang tetap ada di saat kita sedang tidak baik-baik saja. Mereka tidak hanya hadir ketika kita sedang bahagia, tetapi juga ketika kita sedang terpuruk. Dalam dunia yang semakin sibuk dan individualistis, kehadiran sahabat seperti ini menjadi sesuatu yang sangat berharga. Banyak orang yang mungkin terlihat dekat, namun sebenarnya hanya hadir di permukaan.

Saya percaya bahwa sahabat sejati bisa dihitung dengan jari. Mereka bukan hanya teman ngobrol atau berbagi tawa, tetapi juga orang yang bisa kita percaya sepenuhnya. Dalam persahabatan, tidak ada kepura-puraan. Kita bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Justru dalam ruang inilah, kita belajar tentang kejujuran, kesetiaan, dan empati.

Ironisnya, tidak sedikit orang yang merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak teman. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas relasi tidak selalu sebanding dengan kualitasnya. Maka, saya merasa penting untuk lebih menghargai dan menjaga hubungan dengan sahabat-sahabat sejati yang kita miliki. Mereka adalah harta yang tak ternilai.

Persahabatan bukan soal banyaknya teman yang kita punya, tetapi siapa yang tetap tinggal ketika semua orang pergi. Mungkin hanya sedikit, namun merekalah yang benar-benar berarti. Dan dalam kehidupan yang terus berubah ini, sahabat sejati adalah salah satu anugerah yang patut kita syukuri.

 

 

Minggu, 17 Agustus 2025

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

 



 

Hari ini kita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan adalah nikmat besar dari Allah yang wajib kita syukuri. Dengan kemerdekaan, kita terbebas dari belenggu penjajahan, dari ketakutan, dan dari keterbatasan untuk mengatur negeri ini sendiri. Allah berfirman:

“Ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit, tertindas di bumi, kamu takut orang-orang akan menculikmu, maka Allah melindungimu, menguatkanmu dengan pertolongan-Nya, dan memberikan rezeki kepadamu dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal: 26)

Ketika Rasulullah menerima risalah kenabian dan mulai berdakwah, beliau mendapat tantangan yang sangat keras dari orang-orang kafir di kota Makkah. Periode dakwah di Makkah menjadi masa-masa yang berat karena jumlah umat Islam masih sangat sedikit dan menghadapi kaum kafir yang sangat kuat.

Sebaliknya, ketika Rasulullah dan para sahabat sudah hijrah di Madinah, dakwah Nabi dapat disampaikan dengan leluasa dan tidak lagi mendapat ancaman. Sahabat Muhajirin dan Ansor dapat menyerap berbagai ilmu yang diajarkan Nabi dan beribadah dengan tenang sehingga ajaran Islam berkembang dengan pesat.

Itulah perbedaan ketika hidup dalam kekangan penguasa zalim dan hidup di masa kemerdekaan. Mungkin kalau bisa kita ibaratkan, masa sebelum hijrah umat Islam masih dalam zaman penjajahan. Dan tatakala sudah hijrah ke Madinah umat Islam sudah memperoleh kemerdekaannya.

Dulu, para pendahulu kita berjuang dengan pengorbanan harta benda bahkan nyawa demi meraih kemerdekaan. Maka sudah sepatutnya kita yang hidup di zaman merdeka ini mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan dengan kemalasan dan perpecahan sesama anak bangsa.

Dengan kemerdekaan, kita bebas menuntut ilmu di sekolah dan universitas tanpa takut dilarang. Kita bebas bekerja untuk mencari rezeki yang halal demi menghidupi keluarga. Kita bebas beribadah di masjid, melaksanakan dakwah, dan mengamalkan ajaran Islam tanpa rasa takut sesuatu yang dulu sangat sulit dilakukan di masa penjajahan.

Bersyukur atas nikmat kemerdekaan tidak hanya dengan ucapan, tetapi juga dengan tindakan nyata: menjaga persatuan, menaati aturan, bekerja dengan jujur, serta semampu mungkin berkhidmah pada negeri yang kita cintai ini sesuai bidang atau profesi masing-masing. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa di pagi hari merasa aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmidzi)

Aman di negeri sendiri adalah bagian dari kemerdekaan. Jangan sampai nikmat ini dicabut karena kita mengisinya dengan kerusakan, perpecahan, dan saling memfitnah. Mari kita jaga negara ini agar tetap aman, damai, dan makmur, sehingga anak cucu kita kelak masih dapat merasakan manisnya kemerdekaan.

 

 

Selasa, 12 Agustus 2025

Keterbatasan Manusia dan Luasnya Misteri Kehidupan

 



Ada saat-saat ketika kita merasa begitu yakin dengan jawaban yang kita miliki, seolah dunia telah terbuka sepenuhnya di hadapan kita. Namun, seiring perjalanan waktu, kita disadarkan bahwa kehidupan jauh lebih luas, rumit, dan penuh rahasia dibandingkan yang pernah kita bayangkan. Kita adalah manusia, makhluk yang tak sempurna. Pengetahuan kita hanyalah setetes air di lautan luas yang tak bertepi. Dan justru di situlah letak kelembutan hidup: kita diajak untuk terus belajar, bukan untuk merasa telah selesai.

Tidak semua pertanyaan yang lahir dari hati akan menemukan jawabannya. Ada misteri yang sengaja dibiarkan tetap misteri, bukan karena Tuhan lalai memberi penjelasan, melainkan karena sebagian hal hanya bisa dipahami dengan kesabaran, waktu, dan ketulusan. Seperti langit malam yang memendam berjuta bintang, kehidupan menyimpan banyak rahasia yang baru akan terungkap ketika kita siap menerimanya. Dan sampai saat itu tiba, kita hanya bisa berserah, menerima, dan menjaga hati agar tetap lapang.

Sering kali, keterbatasan kita menjadi cermin untuk meredam kesombongan. Ketika merasa paling tahu, kehidupan akan dengan lembut atau terkadang dengan keras menunjukkan bahwa kita keliru. Pengalaman, cobaan, dan perjumpaan dengan orang lain membuka mata bahwa apa yang kita pahami hanyalah serpihan kecil dari kebenaran yang utuh. Itulah sebabnya, kerendahan hati bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan.

Namun, keterbatasan bukanlah kelemahan mutlak. Ia justru menjadi alasan untuk saling menguatkan, mencari, dan bertanya bersama. Di antara ketidakpastian, kita menemukan makna persahabatan, dukungan, dan kasih sayang. Dalam ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh pengetahuan, kita belajar mengisinya dengan cinta dan pengertian. Kehidupan bukan semata soal menemukan semua jawaban, melainkan juga tentang menjalani pertanyaan-pertanyaan itu dengan hati yang terbuka.

Intinya, kita akan mengerti bahwa tidak mengetahui segalanya adalah bagian dari keindahan hidup. Misteri memberi warna pada perjalanan kita, membuat langkah ini lebih rendah hati dan penuh rasa syukur. Sebab bila semua rahasia terbuka di awal, mungkin kita tak akan punya alasan untuk terus melangkah. Dan selama napas masih mengalir, pencarian itu akan terus berjalan hingga suatu hari kita tiba pada jawaban yang sejati, yang hanya bisa ditemukan di hadapan-Nya.


Kamis, 07 Agustus 2025

Keberkahan Doa Orang Tua dan Pendahulu

 

 



Keberkahan dalam hidup sering kali tidak lahir semata-mata dari usaha pribadi, tetapi juga merupakan hasil dari doa-doa tulus yang dipanjatkan oleh orang tua dan para pendahulu kita. Doa adalah bentuk ikhtiar spiritual yang memiliki kekuatan luar biasa, terlebih jika datang dari hati yang penuh keikhlasan dan pengorbanan. Banyak di antara kita yang merasakan kemudahan dalam hidup, padahal mungkin usaha yang dilakukan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Di sinilah letak keberkahan doa para orang tua yang senantiasa memohon kebaikan dan keselamatan bagi anak-anak dan keturunannya.

Contoh nyata dari keberkahan ini dapat dilihat dalam kehidupan para keturunan pendiri pesantren atau pondok pesantren di berbagai penjuru negeri. Para pendiri pondok dulu membangun lembaga pendidikan Islam dengan penuh perjuangan, keterbatasan, dan pengorbanan. Mereka tak hanya mengandalkan tenaga, tapi juga memperkuat perjuangan mereka dengan doa-doa yang terus dipanjatkan siang dan malam. Doa agar ilmu yang diajarkan membawa manfaat, agar murid-murid mereka menjadi orang-orang saleh, dan agar keturunan mereka tetap dalam jalan yang diridhai Allah SWT.

Kini, pondok-pondok yang dulu dibangun dari gubuk sederhana telah tumbuh menjadi lembaga besar yang dikenal hingga ke mancanegara. Ribuan santri menimba ilmu di dalamnya, dan ajaran yang diwariskan terus hidup dari generasi ke generasi. Keberhasilan dan kemasyhuran itu bukan hanya buah dari manajemen modern atau teknologi, tetapi juga merupakan warisan spiritual dari doa-doa yang dulu dipanjatkan dengan air mata oleh para pendirinya. Kekuatan spiritual ini seolah menjadi fondasi tak kasat mata yang menjaga dan menaungi lembaga-lembaga tersebut.

Lebih luas lagi, hal ini juga mengajarkan kita bahwa keberkahan hidup tidak selalu harus dicapai dengan ambisi besar. Kadang, cukup dengan niat yang ikhlas dan doa yang terus-menerus, Allah membukakan jalan yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus, kita patut menjaga amanah ini dengan terus melanjutkan perjuangan kebaikan yang diwariskan, serta tak lupa mendoakan kebaikan untuk orang tua dan para pendahulu kita.

Akhirnya, keberkahan sejati datang dari perpaduan antara usaha dan doa. Doa-doa orang tua dan para pendahulu adalah warisan paling berharga yang tak terlihat namun terasa dalam setiap langkah kehidupan kita. Marilah kita menjadi keturunan yang tidak hanya menikmati keberkahan itu, tetapi juga turut menambah keberkahan dengan amal dan doa untuk generasi setelah kita. Dengan begitu, rantai keberkahan ini akan terus hidup dan menyinari umat sepanjang zaman.

 

 

Sabtu, 02 Agustus 2025

Pembaca Tidak Mencuri, Pencuri Tidak Membaca

 



Seorang penjual buku di kota Baghdad membiarkan buku-bukunya berada di luar toko ketika dia pergi ada keperluan. Ketika ditanya oleh pelanggannya, apakah dia tidak takut kalau ada orang yang mencuri bukunya, dengan santai dia menjawab; "Pembaca tidak mencuri, pencuri tidak membaca." Ungkapan ini sebenarnya bukanlah hukum mutlak, melainkan sebuah perenungan bahwa orang yang terbiasa membaca, cenderung memiliki kesadaran moral yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang jauh dari literasi.

Di tengah arus deras kemajuan zaman, membaca sering kali terpinggirkan oleh budaya visual yang instan. Padahal, membaca bukan hanya sekadar aktivitas menyerap informasi, melainkan juga proses pembentukan watak dan cara pandang seseorang terhadap dunia.

Membaca adalah kegiatan yang mendekatkan manusia pada nilai-nilai, empati, dan pemahaman yang lebih dalam terhadap kehidupan. Seorang pembaca memahami berbagai sudut pandang, belajar dari kisah-kisah manusia, dan menyelami kompleksitas emosi serta pilihan-pilihan etis. Dari sanalah lahir kepekaan moral dan sikap menghargai hak orang lain. Pembaca tidak akan mudah mengambil sesuatu yang bukan miliknya, karena ia tahu bahwa tindakan itu mencederai nilai keadilan yang ia pelajari dari buku-buku yang dibacanya.

Sebaliknya, pencuri adalah gambaran seseorang yang terbiasa mengambil jalan pintas, mengabaikan norma, dan sering kali tumbuh dalam lingkungan minim literasi. Ini bukan soal kecerdasan, tapi soal ketajaman nurani yang terasah lewat proses belajar, termasuk lewat membaca. Seseorang yang hidup dalam kekeringan bacaan, cenderung memiliki dunia yang sempit. Ketika wawasannya sempit, maka mudah baginya untuk membenarkan tindakan yang salah demi kepentingan sesaat.

Tentu, tidak semua pembaca adalah orang suci, dan tidak semua pencuri adalah orang yang tak pernah membuka buku. Namun korelasi antara kebiasaan membaca dengan sikap hidup yang lebih reflektif dan etis tidak bisa diabaikan. Membaca memperluas cakrawala dan memperdalam rasa tanggung jawab sosial. Maka dari itu, masyarakat yang gemar membaca cenderung lebih tertib, lebih sadar hukum, dan lebih toleran.

Ungkapan "Pembaca tidak mencuri, pencuri tidak membaca" sejatinya adalah seruan moral agar kita kembali memuliakan budaya membaca. Ia bukan hanya soal meningkatkan angka literasi nasional, tapi juga membangun karakter bangsa. Di balik setiap halaman yang dibaca, tersembunyi benih-benih kejujuran, integritas, dan empati yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bersama.

Maka, marilah kita menjadi bagian dari perubahan. Bukan hanya dengan membaca untuk diri sendiri, tetapi juga dengan mengajak yang lain untuk mencintai buku. Karena dengan membaca, kita tidak hanya menjauh dari tindak kejahatan, tetapi juga mendekat pada kemanusiaan kita yang sesungguhnya.

 

Misi Berat Timnas Indonesia

  Pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 babak ke-4 zona Asia akan segera dihelat. Undian babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 su...